Pages

Pengalaman Baru di Gili Asahan, Sekotong, Lombok Barat


Berawal dari undangan yang dishare di Facebook tentang kegiatan di Gili Asahan, Lombok, gw langsung mencari informasi. Gratis ternyata. Dan gw langsung membulatkan tekad, gw harus datang. Ya, kegiatan Asahan Menyapa Bumi ini diadakan oleh kawan-kawan gw di Sekotong yang bertepatan dengan Hari Bumi, 22 April 2015.

Acaranya dimulai dari tanggal 21 April jam 08.00 pagi. Tapi berhubung gw yang tampan dan rupawan ini mengajak teman-teman gw yang lain, yang molornya minta ampun, kita baru start dari Mataram jam 10 pagi. Nyampe di lokasi, tepatnya di Desa Batu Putih udah jam 12 siang. Gw udah ngelewatin acara bersih-bersih pantai dan penanaman mangrove. Ah, sebenarnya gak enak sama yang punya acara karena datang telat. Tambah gak enak lagi pas dikasi nasi 6 bungkus, gratis.

Penginapan di Gili Asahan yang masih belum beroperasi, punya Bule coyyyy
Diluar rasa gak enakan itu, gw langsung nyari abang gw yang jago banget menyelam, kebetulan dia juga panitia di acara ini, namanya Bang Ihwan Jaelani. Sama beliau gw berkata, "Bang, apa yang bisa kami bantu, pokoknya jangan ragu2 suruh kita-kita ini. Hehehe", tanya gw sambil senyum cengengesan. Ya iyalah, udah gratis, makan gratis, masak mau enaknya doang. Jiwa bertanggung jawab dan kedewasaan gw jadi ikutan keluar nih. 

Okeh, kalian bersihin pantai sepanjang 2 kilometer dan tanam mangrove 500 bibit, ujarnya enteng, dan gw pulang. Hahahahaha.

Gili Asahan, Sekotong, Lombok Barat
Enggaklah, sesampainya di lokasi, habis makan siang, boat kami pun udah siap untuk menyebrangkan kami ke Gili Asahan. Guest what, lagi2 gratis tis tis. Tis. Sesampainya di Gili Asahan, salah satu Gili yang baru pertama kali gw kunjungi, pantainya bersiiihh banget, pasir putihnya halus, airnya jernih, ikan-ikannya, gak ada. Agak ketengah dikit kali, kamu bakal nemuin pemandangan bawah laut yang luar biasa lengkap dengan ikan-ikannya yang lucu-lucu.

Ashrey narsis di Pelabuhan, gw mah ogah, takut dibilang gawah
Di Gili Asahan, kami tidur di salah satu rumah kayu milik Pak Sapari. Nah, Pak Sapari ini adalah salah satu penduduk setempat yang berkomitmen menjaga kelestarian lingkungan terutama di wilayah Gili Asahan. Gw salut sama Abang yang satu ini, tekadnya begitu kuat untuk membangun desanya yang bertujuan mensejahterakan penduduk di sekitarnya. Ditambah lagi, suaranya yang merdu menemani kami saat membakar ikan hasil tembakan Bang Ihwan Jaelani. Malam, api unggun, ikan bakar, dan lantunan gitar dari Bang Sapari, Ah, nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang mau kamu dustakan?




Gak hanya itu, selama 3 hari disana, gw belajar banyak hal. Gw belajar bagaimana proses transplantasi karang, mulai dari para penyelam mencari bibitnya, pemasangan bibit pada media beton, hingga pelepasan media ke laut. Bersama para penyelam lain, gw ikut-ikutan aja di boat, meskipun tidak ikut menyelam, tapi hanya snorkling saja sambil memfoto dan memvideokan aktivitas mereka. Dalam hati, gw berdoa, semoga suatu saat nanti gw bisa nyelam.

Pemasangan Media Transplantasi karang
Tuhan Maha Adil dan Maha Mendengar jeritan hati hambanya yang teraniaya ganteng ini. Benar saja, keesokan harinya, sisa tabung oksigen masih banyak, dan Bang Ihwan ngajarin gw. Untuk pertama kalinya gw ngerasain yang namanya nyelam dan berhasil mencapai kedalaman 8 meter. Sungguh pengalaman yang menakjubkan dan gw dibuat ketagihan karenanya. Apalagi pemandangan bawah air di Gili Asahan gak ada duanya (Karena gw baru pertama kali, jadi ya iyalah gak ada duanya).

Iya, itu gw, calon Kadis Pariwisata NTB
Terima kasih Bang Ihwan Jaelani, terima kasih Bang Sapari, kalian memang luar biasa. Semoga apa yang kalian rintis akan menjadikan Sekotong sebagai salah satu destinasi wisata favorit di Pulau Lombok. Amiiinn, amiinn, Ya Rabbal Alamin.

View Di Sekitar Gili Asahan

Perjalanan Menyambut 2 Abad Meletusnya Tambora



Ya, kali ini gw mau share pengalaman jalan-jalan beberapa hari yang lalu ke Tambora. Dimulai pada tanggal 7 April 2015, gw bersama satu orang teman start dari Kota Mataram menggunakan sepeda motor. Selama hampir 2 jam kamipun tiba di Pelabuhan Kayangan dan membayar tiket masuk kapal ferry sebesar 53.000 perak. Saking seringnya bolak balik Sumbawa-Lombok gw udah gak nikmatin lagi perjalanan di atas kapal ferry, ditambah lagi kondisi fisik dan pikiran yang cukup kelelahan.

Bagaimana tidak, rencana ke Tambora ini udah gw dan teman gw gadang sejak beberapa bulan yang lalu. Kami ingin berpartisipasi, melalui atraksi paramotor dan paralayang. Proposal dan audiensi sudah kami upayakan, bolak balik ke Dinas Pariwisata, awalnya seperti memberi harapan, tapi belakangan, entah mengapa dibatalkan secara sepihak. Ah, tapi pikir kami, ini harus terjadi. Apapun, bahkan jika harus merogoh kocek sendiri, demi kemajuan olahraga paralayang di NTB.


Perjalanan Menyambut 2 Abad Meletusnya Tambora

Setibanya di Sumbawa Besar, gw bergabung dengan rekan-rekan yang lain yang sudah terlebih dahulu berangkat menggunakan pick up. Mereka membawa perlengkapan seperti tenda hingga parasut. Mereka berasal dari Sembalun, Taliwang, Sumbawa Besar, pokoknya mereka adalah rekan-rekan satu tim dari FASI Paralayang NTB. Di Sumbawa Besar gw nginap semalam dulu. Teman2 yang lain pada tidur di Hotel Garuda, fasilitas gratis yang nyaman karena pemiliknya salah satu anggota kami, Alhamdulillah, dan gw sendiri lebih memilih untuk pulang ke rumah dan bertemu emak dan bapak gw.

Keesokan harinya, 8 April 2015, usai packing2, kami yang berjumlah 12 orang melanjutkan perjalanan menuju Dompu menggunakan dua pick up. Mampir di Empang mengunjungi rumah salah satu anggota, alangkah bahagianya kami karena disuguhkan dengan Gulai dan Sate Domba, hasil gorokan sendiri teman yang satu ini, pencinta Batu Akik, Bang Ambul. Terima kasih Bang. Maaf kalo kita agak ngerepotin. Hehehe.

Perjalanan Menyambut 2 Abad Meletusnya Tambora

Tidak berlama-lama di rumah Bang Ambul, perjalanan kami lanjutkan kembali. Kamipun tiba di perempatan paling terkenal di Dompu, Cabang Baggo tepat saat matahari sudah tidak nampak lagi. Cabang Banggo menjadi tempat yang cukup meriah saat tawa canda kami lepas sambil menikmati seduhan kopi hangat dari warung terdekat. Ah, sungguh cara melepas penat yang luar biasa. Perjalanan dari Mataram - Dompu jika ditempuh tanpa mampir disana-sini normalnya menghabiskan waktu sekitar 10 jam perjalanan.

Perjalanan Menyambut 2 Abad Meletusnya Tambora

Perjalanan Menyambut 2 Abad Meletusnya Tambora

Perjalanan Menyambut 2 Abad Meletusnya Tambora

Rencana awal kami setelah sampai Cabang Banggo adalah mencari HardTop untuk mengantarkan kami ke Doro Ncanga, dan kemudian keesokan harinya bersama dengan HardTop tersebut menuju Puncak tertinggi Gunung Tambora. Tapi apa mau dikata, hardtop tersebut tidak bisa kami dapatkan. Full karena Tambora lagi ramai-ramainya. Berbagai upaya dengan mengontak sana dan sini tidak menghasilkan apa-apa. Akhirnya, malam itu kami tidak jadi ke Doro Ncanga, tidak jadi ke arah Barat. Kami menuju arah timur, menuju Dompu, bermalam disana dan memikirkan kembali rencana untuk esok hari sambil istirahat.

Ah, seandainya Dinas Pariwisata menepati janjinya, tentu semua ini tidak akan terjadi...

Perjalanan Menyambut 2 Abad Meletusnya Tambora

Perjalanan Menyambut 2 Abad Meletusnya Tambora

Keesokan harinya, tanggal 09 April 2015, gw dan teman2 yang lain bertolak dari Dompu sebelum azan subuh berkumandang menuju Doro Ncanga. Perjalanan yang kami tempuh kurang lebih 3 jam. Akses jalan sudah hotmix, gak seperti sebelumnya gw melewati jalan ini, tanah berdebu dan batu lepas menjadi santapan ban mobil kami sepanjang perjalanan. Tiba di Doro Ncanga sekitar Pukul 07.00 pagi, kamipun mencari tempat perkemahan. Membangun tenda kemudian membuka warung kopi. Nah lo, jauh2 kok jualan kopi. Hehehe.

Beberapa tim yang lain masih mengupayakan hardtop untuk menuju Puncak Tambora. Planning kami sebelumnya adalah naik pagi itu juga, terbang layang dari Puncak Tambora menuju Pos 3. Tapi apa daya, hingga malam hari, kami tidak menemukan kendaraan besi tanpa atap tersebut. Alhasil, tim paralayang gagal terbang, hanya mampu melihat iri pada teman2 paramotor yang beberapa kali take off memutari Doro Ncanga. Disini kadang saya merasa, sumpah, sediiihhh banget :(

Sampai tanggal 10 April, rencana ke Puncak Tambora pun batal. Alhasil, gw dan teman2 gw yang lain cuman bisa ground handling doang. Meskipun matahari menyengat, aktivitas kami yang satu ini sukses menarik perhatian segenap pengunjung Doro Ncanga. Tak apalah, meskipun gagal terbang, menjadi pusat perhatian orang-orang lumayan bikin kegantengan nambah 50%.


Perjalanan Menyambut 2 Abad Meletusnya Tambora

Malam harinya kami pulang. Meskipun Jokowi datang besok, kami gak peduli. Satu tujuan kami yaitu terbang, menaklukkan Tambora, bukan melihat presiden!

Dan akhirnya, sebagai pelipur lara, sepulangnya dari Dompu, kami mampir di Pulau Kenawa, Sumbawa Barat. Terbang rendah di sana, menikmati ikan laut bakar, dan snorklingan sampai gosong. Ah, biarlah aku hitam, yang penting anakku putih. Anak? Lalu galau...